CAHAYA DI BALIK KABUT
Oleh: Yuli Akaningrum, S.Pd.
Hari masih pagi. Kabut tipis menyelimuti alam pedesaan yang masih asri. Perempuan tua berpakaian agak kumal terlihat keluar dari rumah yang terbilang sangat sederhana. Dia biasa
dipanggil Yu Witi. Ia langkahkan kakinya menuju salah satu rumah yang terlihat lebih bagus di antara rumah lainnya. Ya, perempuan tua itu akan mencoba untuk mengais rezeki pagi ini. Hal itu sudah dilakukannya selama tiga tahun terakhir.
Pemilik rumah itu pun sama-sama sudah berumur. Akan tetapi, mereka memiliki semangat yang luar biasa. Janda-janda tua yang masih mau berupaya membuka pintu rezeki dengan peluhnya
sendiri. Selagi masih bisa beraktivitas, mengapa harus pasrah menerima takdir? Bekerja apa pun yang penting halal. Itulah yang menjadi prinsip dua perempuan tua itu. Ibarat botol dan tutupnya, mereka saling mengisi, saling menopang, dan saling memberi.
Beginilah kisah mereka.
Yu Witi termasuk sosok yang tangguh. Dalam usianya yang terbilang renta masih sanggup menghidupi anak-anaknya yang sudah terbilang dewasa. Rasa kasihnya yang begitu besar kepada anak-
anaknya justru terlihat aneh di mata para tetangga. Dia memiliki tiga orang anak laki-laki. Dari ketiga anaknya, anak kedualah yang sudah berumah tangga dan memberikannya dua cucu. Sementara dua anak lainnya masih membujang meski umurnya sudah kepala tiga. Di rumah sederhananya, dia tinggal bertiga. Yang menjadi penyangga ekonomi hanya Yu Witi. Kedua anaknya hanya asyik dengan dunianya, dengan kesenangannya. Tidak ada pemikiran untuk meringankan beban orang tuanya.
Yu Witi sempat mengenyam bangku Sekolah Rakyat. Itu pun hanya sampai kelas 2. Meskipun begitu, kemampuan berhitungnya tinggi. Kalau hanya menghitung uang, masalah sepele baginya. Encer, katanya. Hmmm…ternyata, kemampuan bersosialisasinya juga bagus. Dia bisa dekat dengan siapa saja. Terkadang sikap yang apa adanya dan gaya ceplas-ceplosnya mengundang tawa orang di sekitarnya. Kelebihan yang dimiliki Yu Witi tanpa disadari membawa berkah dan perubahan positif pada dirinya.
Ketika suaminya masih hidup, dia menggantungkan rezeki dari ladang yang tidak seberapa luas. Suaminya mengisi hari-hari dengan berjualan es gosrok keliling. Hasil yang tidak seberapa
membuat keluarganya hidup dalam kekurangan. Karena tuntutan perutlah menyebabkan Yu Witi mengambil milik orang lain yang ada di sekitar ladangnya. Entah itu kelapa, rebung, pepaya, bambu, atau apa pun yang dia temui saat menuju ladang, dia ambil. Dia tidak takut dosa. Yang penting kebutuhan perutnya terpenuhi.
Sepeninggal suaminya, Yu Witi semakin bingung dan kalut. Anak pertamanya sakit parah. Dia belum mengenal apa itu BPJS. Karena rasa sayangnya kepada buah hati, ladang sejengkal yang
dimilikinya harus berpindah tangan. Adakah kasih suci selain kasih seorang ibu kepada anaknya? Dalam keterbatasan, dalam kepapaan, harta berharga rela dilepaskan. Tiada yang lebih berharga selain buah cinta dengan mendiang suaminya.
Tuhan Mahaadil. Maha segala maha menunjukkan kasih-Nya. Ia dipertemukan dengan seorang janda tua. Dua perempuan tua yang merasa senasib karena ditinggal belahan hidupnya.
“Yu Witi, kita sudah tua. Sudah saatnya kita nglakoni sabdanya Kanjeng Nabi. Lima waktunya nggak kamu tinggalkan kan, Yu?” Mak Tinah membuka percakapan dengan Yu Witi saat ia
meminta pelunasan pembayaran ladangnya. Mak Tinah adalah orang yang membeli ladang miliknya.
“Kalau yang itu alhamdulillah tidak pernah saya tinggalkan
Mak,” sahut Yu Witi cepat.
“Yu, kamu sudah nglakoni lima waktu. Tapi, saya masih sering mendengar orang-orang membicarakanmu. Katanya kamu sering mengambil hasil tanaman milik orang lain. Apa iya, Yu? Maaf
ya Yu, jangan tersinggung.,” lanjut Mak Tinah.
“Iya, Mak. Saya sebenarnya malu, tapi mau bagaimana lagi. Kalau nggak begitu saya ya nggak makan,” jawab Yu Witi tersipu.
“Yu, sayang lho salat kita. Pahala yang kita dapat terhapus karenanya. Begini, Yu, jika kamu mbantu aku jualan sayur keliling gimana? Mau apa nggak?” tawar Mak Tinah.
“Emmmm…apa Mak Tinah percaya sama saya. Apa saya bisa
jualan, Mak?” jawab Yu Witi.
“Saya percaya sama kamu, Yu. Kalau begitu mulai lusa kita jualan. Gimana, Yu? Besok kamu membantu racik-racik bumbunya,” lanjut Mak Tinah.
“Siap Mak. Saya mau. Besok saya ke sini. Sekarang saya pamit dulu Mak.”
Sejak itulah Yu Witi membantu Mak Tinah berjualan. Dua hari sekali dia berkeliling menjajakan sayur, lauk, dan makanan kecil. Karena masakan Mak Siti yang memang mampu menggoyang lidah, dagangannya pun selalu laris. Jika ada sisa paling satu atau dua bugkus. Sisanya selalu diberikan Mak Tinah kepada Yu Witi. Simbiosis mutualisme. Itu yang terlihat pada mereka berdua. Di waktu senggangnya terkadang ada yang meminta bantuan tenaga Yu Witi. Dengan senang hati, ia melakukannya. Tak pernah dia mematok upah. Hal inilah yang membuat banyak orang sayang dan welas asih terhadap Yu Witi.
Seiring berjalannya waktu, upaya mendekatkan diri kepada Allah Swt. juga semakin kuat. Puasa sunah selalu ia jalankan. Keikhlasan selalu terpancar di wajahnya seolah tak ada beban meski
Yu Witi harus menanggung biaya hidup diri dan anak-anaknya. Sosok orang kecil yang mampu memberikan cahaya kehidupan bagi sekitarnya.